Malam Pertama di Alam Kubur

MALAM PERTAMA ANDA DALAM KUBUR

Selasa, 07 Oktober 2008

SEBAB-SEBAB BID’AH

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari


Bukan hal yang samar bagi setiap orang, bahwa setiap kejadian memiliki sebab, yang dengannya dapat diketahui benar atau salahnya. Adapun sebab terjadinya bid’ah dengan berbagai ragam bentuknya adalah kembali kepada tiga hal. [1]

Pertama : Kebodohan Tentang Sumber Hukum Dan Cara Pemahamannya
Sumber hukum syar’i adalah Al-Qur’an dan Hadits dan apa yang diikutkan dengan keduanya berupa Ijma dan Qiyas. Tetapi qiyas tidak dapat dijadikan rujukan dalam hukum ibadah. Sebab di antara rukun dalam qiyas adalah bila ada kesamaan alasan hukum dalam dalil pokok dengan hukum cabang yang diqiyaskan, padahal ibadah semata-mata didirikan berdasarkan peribadatan murni.

Sesungguhnya bentuk kesalahan yang menyebabkan munculnya bid’ah adalah karena kebodohan tentang Sunnah, posisi qiyas dan tingkatannya, juga tentang gaya bahasa Arab.

Kebodohan terhadap hadits mencakup kebodohan tentang hadits-hadits shahih dan kebodohan menggunakan hadits-hadits dalam penentuan hukum Islam. Dimana yang pertama berimplikasi kepada hilangnya hukum, padahal dasar hukumnya adalah hadits shahih, sedang yang kedua berdampak pada tidak dipakainya hadits-hadits shahih dan tidak berpedoman kepadanya, bahkan digantikan posisinya dengan argumen-argumen yang tidak dibenarkan dalam syari’at.

Sedangkan kebodohan terhadap qiyas dalam penentuan hukum Islam adalah yang menjadikan ulama fikih generasi khalaf yang menetapkan qiyas dalam masalah-masalah ibadah dan menetapkannya dalam agama terhadap apa yang tidak terdapat dalam hadits dan amal, padahal banyaknya kebutuhan untuk mengamalkannya dan tidak ada yang menghalanginya.

Adapun kebodohan tentang gaya bahasa Arab adalah yang menyebabkan dipahaminya dalil-dalil bukan pada arahnya. Demikian itu menjadi sebab adanya hal baru yang tidak dikenal generasi awal.

Sebagai contoh adalah pendapat sebagian manusia tentang hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Jika kamu mendengar orang adzan maka katakanlah seperti apa yang dikatakannya kemudian bershalawatlah kepadaku” [Hadits Riwayat Muslim]

Mereka menganggap hadits tersebut sebagai perintah kepada orang yang adzan untuk membaca shalawat setelah selesai adzan, dan beliau memintanya untuk mengeraskan suaranya, sehingga hadits ini dijadikan dalil disyariatkannya bershalawat dengan suara yang keras. Mereka mengarahkan arti perintah bershalawat kepada orang yang adzan dengan alasan bahwa pembicaraan hadits untuk umum kepada semua kaum muslimin, sedangkan orang yang adzan masuk di dalamnya. Atau bahwa ungkapan “ Jika kamu mendengar” mencakup kepada orang yang adzan karena dia juga mendengar adzannya sendiri!

Kedua penakwilan tersebut adalah disebabkan kebodohan tentang gaya bahasa. Sebab permulaan hadits tidak mencakup perintah kepada orang yang adzan, dan akhir hadits datang sesuai dengan awalnya, sehingga tidak mencakup juga kepada orang yang adzan.

Sesungguhnya ulama qurun awal berijma (bersepakat) bahwa mengetahui karakteristik bahasa Arab untuk pemahaman Al-Qur’an dan Hadits adalah sebagai syarat dasar dalam kebolehan untuk berijtihad dan menyimpulkan dalil-dalil syar’i.

Adapun kebodohan tentang tingkatan qiyas dalam sumber hukum Islam, yaitu qiyas boleh dipakai apabila tidak ada hadits dalam masalah tersebut, kebodohan akan hal ini mengakibatkan suatu kaum melakukan qiyas padahal terdapat hadits yang kuat, namun mereka tidak mau kembali kepadanya sehingga mereka terjerumus ke dalam bid’ah.

Bagi orang yang mencermati berbagai pendapat ulama fiqih niscaya dia mendapatkan banyak contoh tentang hal ini. Dan yang paling dekat adalah apa yang dikatakan sebagian orang dalam mengqiyaskan orang yang adzan dengan orang yang mendengarnya dalam perintah membaca shalawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah adzan. Padahal pendapat hadits yang sangat jelas mengenai hukum tersebut sebagaimana telah disebutkan, sedangkan hadits harus di dahulukan atas qiyas. Sebab redaksai, “Jika kamu mendengar adzan … (sampai akhir hadits)” menunjukkan kekhususan perintah membaca shalawat setelah adzan hanya kepada orang yang mendengar adzan.

Kedua : Mengikuti Hawa Nafsu Dalam Menetapkan Hukum
Orang yang terkontaminasi hawa nafsunya bila memperhatikan dalil-dalil sayr’i, dia akan terdorong untuk menetapkan hukum sesuai dengan selera nafsunya kemudian berupaya mencari dalil yang dijadikan pedoman dan hujjah.

Artinya, dia menjadikan hawa nafsu sebagai pedoman penyimpulan dalil dan penetapan hukum. Demikian itu berarti pemutarbalikan posisi hukum dan merusak tujuan syari’at dalam menetapkan dalil.

Mengikuti hawa nafsu adalah akar dasar penyelewengan dari jalan Allah dan lurus. FirmanNya.

“Artinya : Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah seikitpun?” [Al-Qashash : 50]

Fakta membutktikan bahwa akibat mengikuti hawa nafsu menjadikan berbagai peraturan dalam agama menjadi pudar dan setiap kebaikan menjadi terhapuskan.

Bid’ah karena mengikuti hawa nafsu adalah bentuk bid’ah yang paling besar dosanya di sisi Allah dan paling besar pelanggarannya terhadap kebaikan. Sebab betapa banyak hawa nafsu yang telah merubah syari’at, mengganti agama dan menjatuhkan manusia ke dalam kesesatan yang nyata.

Ketiga : Menjadikan Akal Sebagai Tolak Ukur Hukum Syar’i.
Sesungguhnya Allah menjadikan akal terbatas penalarannya dan tidak menjadikannya sebagai pedoman untuk mengetahui segala sesuatu. Sebab ada beberapa hal yang sama sekali tidak terjangkau oleh akal dan ada pula yang terjangkau hanya sebatas lahirnya saja dan bukan substansinya. Dan karena keterbatasan akal, maka hampir tidak ada kesepahaman tentang hakikat yang diketahuinya. Sebab kekuatan dan cara pemahaman orang berbeda-beda menurut para peniliti.

Maka, dalam sesuatu yang tidak dapat dijangkau akal dan penalaran, menusia harus merujuk kepada pembawa berita yang jujur yang dijamin kebenarannya karena mu’jizat yang dibawanya. Dia adalah seorang rasul yang dikuatkan dengan mu’jizat dari sisi Allah Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang Maha cermat dengan apa yang Dia ciptakan.

Atas dasar ini Allah mengutus para rasulNya untuk mejelaskan kepada manusia apa yang diridhai Pencipta mereka, menjamin kebahagiaan mereka, dan menjadikan mereka memperoleh keberuntungan dalam kebaikan dunia dan kebaikan di akhirat.

Sesungguhnya sebab-sebab terjadinya bid’ah yang kami sebutkan diatas telah tercakup semua sisinya dan terpadunya pokok-pokoknya dalam hadits.

“Artinya : Akan mengemban ilmu ini dari setiap generasi, orang-orang yang adil di antara mereka yang akan menafikan orang-orang yang ekstrim, dan ajaran orang-orang yang melakukan kebatilan serta penakwilan orang-orang yang bodoh” [2]

Ungkapan “ perubahan orang-orang yang ekstrim” mengisyaratkan kepada sikap fanatik dan belebihan. Sedang ungkapan “ajaran orang-orang yang melakukan kebatilan “ mengisyaratkan kepada yang menganggap baik mendahulukan akal dan mengikuti hawa nafsu dalam menetapkan hukum syar’i. Lalu ungkapan “penakwilan orang-orang yang bodoh” mengisyaratkan kepada kebodohan dalam sumber-sumber hukum dan cara pemahamannya dari sumber-sumbernya.

[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Kitab Al-Bid’ah, karya Syaikh Mahmud Syaltut : 17-36
[2] .Hadits hasan Lihat Isryad As-Sari I/4 oleh Al-Qasthallani dan Al-Hiththah oleh Shiddiq Hasan Khan : 70

Kategori Jihad Fii Sabilillah

HAKIKAT JIHAD

Oleh
Ustadz Abu Qatadah

Jihad merupakan puncak kekuatan dan kemuliaan Islam. Orang yang berjihad akan menempati kedudukan yang tinggi di surga, sebagaimana juga memiliki kedudukan yang tinggi di dunia

Secara umum, hakikat jihad mempunyai makna yang sangat luas. Yaitu, berjihad melawan hawa nafsu, berjihad melawan setan, dan berjihad melawan orang-orang fasik dari kalangan ahli bid’ah dan maksiat. Sedangkan menurut syara’ jihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang kafir. [Lihat Fathul Bari 6/77]

Sehingga dapat disimpulkan, jihad itu meliputi empat bagian :
Pertama : Jihad melawan hawa nafsu
Kedua : Jihad melawan setan
Ketiga : Berjihad melawan orang-orang fasik, pelaku kezhaliman, pelaku bid’ah dan pelaku kemungkaran.
Keempat : Jihad melawan orang-orang munafik dan kafir

Jihad melawan hawa nafsu, meliputi empat masalah :
Pertama : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mencari dan mempelajari kebenaran agama yang haq.
Kedua : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mengamalkan ilmu yang telah didapatkan.
Ketiga : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mendakwahkan ilmu dan agama yang haq.
Keempat : Berjihad melawan hawa nafsu dengan bersabar dalam mencari ilmu, beramal dan dalam berdakwah.

Adapun berjihad melawan setan dapat dilakukan dengan dua cara :
Pertama : Berjihad melawan setan dengan menolak setiap apa yang dilancarkan setan yang berupa syubhat dan keraguan yang dapat mencederai keimanan
Kedua : Berjihad melawan setan dengan menolak setiap apa yang dilancarkan setan dan keinginan-keinginan hawa nafsu yang merusak.

Sedangkan berjihad melawan orang-orang fasik, pelaku kezhaliman, pelaku bid’ah dan pelaku kemungkaran, meliputi tiga tahapan. Yaitu dengan tangan apabila mampu. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hati, yang setiap kaum muslimin wajib melakukannya. Yaitu dengan cara membenci mereka, tidak mencintai mereka, tidak duduk bersama mereka, tidak memberikan bantuan terhadap mereka, dan tidak memuji mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Tiga perkara ; barangsiapa yang pada dirinya terdapat tiga perkara ini, maka dia akan mendapatkan kelezatan iman ; Allah dan RasulNya lebih dicintai daripada yang lainnya, ia mencintai seseorang hanya karena Allah dan dia benci kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah darinya, sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam neraka” [HR Bukhari dan Muslim]

“Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka dia berarti telah sempurna imannya” [HR Abu Dawud]

“Barangsiapa membuat perkara yang baru atau mendukung pelaku bid’ah, maka dia terkena laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia” [HR Bukhari dan Muslim]

Berjihad melawan orang fasik dengan lisan merupakan hak orang-orang yang memiliki ilmu dan kalangan para ulama yaitu dengan cara menegakkan hujjah dan membantah hujjah mereka, serta menjelaskan kesesatan mereka, baik dengan tulisan ataupun dengan lisan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan : “Yang membantah ahli bid’ah adalah mujahid” [Lihat Al-Fatawa 4/13]

Syaikhul Islam juga mengatakan : “Apabila seorang mubtadi menyeru kepada aqidah yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah, atau menempuh manhaj yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, dan dikhawatirkan akan menyesatkan manusia, maka wajib untuk menjelaskan kesesatannya, sehingga orang-orang terjaga dari kesesatannya dan mereka mengetahui keadaannya” [Lihat Al-Fatawa 28/221]

Oleh karena itu, membantah ahli bid’ah dengan hujjah dan argumentasi, menjelaskan yang haq, serta menjelaskan bahaya aqidah ahli bid’ah, merupakan sesuatu yang wajib, untuk membersihkan ajaran Allah, agamaNya, manhajNya, syari’atNya. Dan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, menolak kejahatan dan kedustaan ahli bid’ah merupakan fardu kifayah. Karena seandainya Allah tidak membangkitkan orang yang membantah mereka, tentulah agama itu akan rusak. Ketahuilah, kerusakan yang ditimbulkan dari perbuatan mereka, lebih berbahaya daripada berkuasanya orang kafir. Karena kerusakan orang kafir dapat diketahui oleh setiap orang, sedangkan kerusakan pelaku bid’ah hanya diketahui oleh orang-orang alim.

Adapun berjihad melawan orang fasik dengan tangan, maka ini menjadi hak bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan atau Amirul Mukminin, yaitu dengan cara menegakkan hudud (hukuman) terhadap setiap orang yang melanggar hukum-hukum Allah dan RasulNya. Sebagaimana pernah dilakukan Abu Bakar dengan memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, Ali bin Abi Thalib memerangi orang-orang Khawarij dan orang-orang Syi’ah Rafidhah.

Bagaimana dengan berjihad melawan orang-orang munafik dan kafir ? Al-Imam Ibnu Qayyim menyatakan, jihad memerangi orang kafir adalah fardhu ‘ain ; dia berjihad dengan hatinya, atau lisannya, atau dengan hartanya, atau dengan tangnnya ; maka setiap muslim berjihad dengan salah satu di antara jenis jihad ini. [Lihat Zadul Ma’ad 3/64]

Akan tetapi, berjihad memerangi orang kafir dengan tangan hukumnya fardhu kifayah, dan tidak menjadi fardhu ‘ain, kecuali jika terpenuhi salah satu dari empat syarat berikut ini :

Pertama : Apabila dia berada di medan pertempuran.
Kedua : Apabila negerinya diserang musuh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan ; “Apabila musuh telah masuk menyerang sebuah negara Islam, maka tidak diragukan lagi, wajib bagi kaum muslimin untuk mempertahankan negaranya dan setiap negara yang terdekat, kemudian yang dekat, karena negara-negara Islam adalah seperti satu negara” (Al-Ikhtiyarat : 311) Jihad ini dinamakan Jihad Difa’.
Ketiga : Apabila diperintah oleh Imam (Amirul Mukminin) untuk berperang.
Keempat : Apabila dibutuhkan, maka jihad menjadi wajib. [Lihat al-Mughni, Al-Majmu’, Zaadul Mustaqni]

Adapun disyariatkan jihad melawan orang kafir (dengan tangan), melalui tiga tahapan.

Pertama : Diizinkan bagi kaum muslimin untuk berperang dengan tanpa diwajibkan. Allah berfirman.

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” [Al-Hajj : 39]

Kedua : Perintah untuk memerangi setiap orang kafir yang memerangi kaum mulimin. Allah berfirman.

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” [Al-Baqarah : 190]

Ketiga : Perintah untuk memerangi seluruh kaum musyrikin sehingga agama Allah tegak di muka bumi.

“Dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya ; dan ketahuiilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa” [At-Taubah : 36]

Tahapan yang ketiga ini tidak dimansukh, sehingga menjadi ketetapan wajibnya jihad sampai hari kiamat. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata : “Marhalah (tahapan) yang ketiga ini tidak dimansukh, tetap wajib sesuai dengan kondisi kaum muslimin” [Fadlu Al-Jihad Wal Mujahidin, 2 : 440]

Demikian secara singkat hakikat jihad berserta tahapan-tahapan perintah tersebut. semua ini harus dipahami oleh kaum muslimin, sehingga dalam menetapkan jihad, sesuai dengan keadaan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Wallahu a’lam

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]

Kamis, 17 April 2008

KITAB KRISTEN "PERJANJIAN BARU"

Mengapa "Menurut"?
Bagaimana dengan yang disebut Perjanjian Baru?~~ Mengapa setiap Injil dimulai dengan pendahuluan - menurut .... menurut.... (Lihat halaman 361). Mengapa "menurut"? Karena tidak ada satu pun dari kata-kata yang berhubungan dengan 24.000 salinan yang ada membawa tulisan penulisnya sendiri! Inilah perkiraan mengapa ditulis "menurut"! Meski bukti-bukti internal membuktikan Matius bukanlah penulis kitab pertama yang memuat namanya.

"Setelah Yesus pergi dari situ, Ia (Yesus) melihat seorang yang bernama Matius, duduk di rumah cukai, Ialu Ia (Yesus) berkata kepadanya (Matlus), "Ikutlah Aku (Yesus). " Maka berdirilah Matius lalu mengikuti Dia (Yesus). "(Injil -Matius 9: 9).

Tanpa mengembangkan imajinasi pun, seseorang dapat melihat kata "Ia" dan "Nya" dari narasi di atas tidak mengarah kepada Yesus atau Matius sebagai penulis, tetapi orang ketiga menulis apa yang dilihat dan didengarnya - bisa juga dari cerita orang. Jika kita tidak dapat mengatributkan "Kitab mimpi" ini, (sepertijuga yang dilukiskan untuk kitab Injil yang pertama) kepada Matius, bagaimana kita menerimanya sebagai Firman Tuhan? Tidak hanya kita saja yang menemukan bahwa Matius bukanlah penulis "Injil menurut Matius" dan Injil tersebut tidak diketahui siapa penulisnya. J. B. Phillips sepakat dengan kita dalam penemuan ini. Ia adalah pelayan yang dibayar oleh Gereja Anglikan, Inggris. Tak ada alasan baginya untuk berbohong atau berkhianat atas kerusakan pandangan gerejanya! Mengacu kepada kata pengantarnya untuk "Injil Matius" (lihat salinannya pada halaman 362). Phillips mengatakan tentang kepenulisannya sebagai berikut:

"Tradisi terdahulu menganggap Injil ini berasal dari Rasul Matius, tetapi para sarjana saat iri hampir semuanya menolak pendapat ini." Dengan kata lain, Matius tidak menulis Injil yang memuat namanya. Hal ini ditemukan oleh para sarjana Kristen termasyhur - bukan umat Hindu, Islam dan Yahudi yang mungkin berprasangka. Biarlah teman kita penganut Anglikan ini meneruskan: "Penulis, yang masih dapat kita sebut dengan baik sekali Matius ""Dengan baik sekali," karena jika tidak, setiap kali membuat referensi terhadap "Matius" kita harus mengatakan - "Kitab pertama Perjanjian Baru" pasal sekian dan sekian, ayat sekian dan sekian. Dan lagi-lagi "Kitab pertama ....." dan lain-lain. Karena itu, menurut J. B. Phillips adalah baik sekali kita memberi beberapa nama pada kitab tersebut. Maka mengapa tidak "Matius?" Anggaplah sebuah nama yang bagus seperti yang lainnya! Phillips melanjutkan: "Penuh dengan jelas menggambarkan `Q' yang misterius yang mungkin adalah kumpulan tradisi oral. "Apakah "`Q'misteriusini?""Q" adalah singkatan untuk kata dalam bahasa Jerman "quella", yang berarti "sumber-sumber". Dokumen lain - sebuah sumber umum - yang dijadikan acuan oleh Matius, Markus dan Lukas. Ketiga penulis ini, siapa pun mereka, telah melihat dokumen umum tersebut. Mereka menulis seolah melihat melalui mata "seseorang". Dan karena mereka sepakat, ketiga kitab Injil pertama tersebut dikenal sebagai Injil Sinoptik.

Penjiplakan Total
Tetapi bagaimana dengan bisnis "inspirasi"? Orang Anglikan tersebut telah mengetukkan palu di kepala. Ia, lebih dari orang lain, berhak melakukan juga. Ia adalah seorang pelayan bayaran Gereja (seorang penginjil Kristen Ortodoks yangjuga seorang sarjana) yang mempunyai akses langsung ke naskah Yunani "asli". Dengarkan apa yang dibacakannya untuk kita. (Perhatikan bagaimana lemah lembutnya ia bercerita): "Dia (Matius) telah menggunakan Inji1 Markus secara bebas "Dimana dalam bahasa pendidikan: "telah menyalin secara keseluruhan dari Markus!" Tetap saja umat Kristen menyebut plagiarisme secara keseluruhan tersebut sebagai "Firman Tuhan"!

Tidakkah ini membuat Anda bertanya bahwa seorang saksi yang melihat dan mendengar tugas Yesus, yaitu seorang murid yang bernama Matius, bukannya menulis sendiri tugas dari "Tuhannya" melainkan mencuri tulisan anak muda (Markus) yang berusia sepuluh tahun ketika Yesus mencela kaumnya? Mengapa seorang saksi yang melihat dan mendengar seperti Matius menyalin dari seorang anak yang masih muda (Markus) yang ia sendiri menulisnya berdasarkan cerita orang? Matius tidak akan melakukan perbuatan bodoh dengan memberi namanya untuk dokumen yang tak diketahui siapa penulisnya.

Plagiarisme Atau Pencurian Literatur
Plagiarisme berarti pencurian literatur. Disebut plagia-risme jika seseorang menyalin kata demi kata dari tulisan lain dan menjualnya sebagai miliknya sendiri. Hal ini merupakan ciri umum di antara 40 penulis-penulis Kitab Injil yang tidak diketahui namanya. Umat Kristen bangga dengan apa yang dianggap penghubung umum di antara penulis 66 buklet Protestan dan penulis 73 buklet Katholik Roma yang disebut "Kitab Injil". Beberapa penghubung umum adalah mereka (baik Matius, Lukas atau siapa pun mereka) telah melakukan 85% plagiarisme kata demi kata dari Markus! Tuhan Yang Maha Kuasa tidak mendiktekan susunan kata yang sama untuk sinoptis tersebut. Umat Kristen sendiri mengakui hal ini, karena mereka tidak percaya wahyu lisan, sebagaimana yang diyakini umat Islam tentang kitab suci Al-Qur'an.2~
85% plagiarisme yang dilakukan Matius dan Lukas ini menjadi tidak penting dibanding pencurian literatur dari penulis-penulis Perjanjian Lama, dimana 100% pencurian terjadi dalam yang disebut Kitab Tuhan. Seorang sarjana Kris-ten, Kenneth Crag,g dengan bangga memakai ungkapan pe-lembut untuk menyebut pencurian ini sebagai "reproduksi".3~

Standar yang Sesat
Dr Scroggie (lihat tulisan sebelumnya) dengan antusias mengutip Dr. Joseph Parker dalam bukunya4~ atas pujian-nya yang unik terhadap Injil:

"Kitab apakah Injil, sehubungan dengan bermacam-macam isinya! .... Keseluruhan halaman dibicarakan dengan nama-nama yang tidakjelas, dan lebih banyak menceritakan sebuah silsilah daripada hari pembalasan. Cerita hanya setengahnya saja dikatakan, dan malam tiba sebelum kita dapat mengatakan dimana kemenangan berada. Dimanakah adanya segala sesuatu." (dalam literatur agama dunia) "Yang berhubungan dengan ini?" Sebuah untaian kata yang cantik dan tidak ragu-ragu! Lebih banyak meributkan tentang sesuatu yang tidak ada, dan fitnah terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa atas penulisan yang memalukan tersebut.

Tak Ada yang Kurang Dari 100%
Selama simposium dengan topik "Apakah Injil Firman Tuhan?" di Universitas Cape Town yang dipimpin oleh saya dan Profesor Cumsty (Ketua Jurusan Teologi), saya meminta kepada pendengar agar membuka Injil untuk mendemonstrasikan derajat plagiarisme yang dilakukan oleh penulis Injil "yang diberi inspirasi".

Sebagian umat Kristen sangat gemar membawa Injil dalam tangan mereka selama berlangsungnya diskusi agama atau debat. Mereka seolah-olah tak berdaya tanpa kitab tersebut. Sesuai dengan saran saya, sejumlah pendengar mulai membolak-balik halaman Injilnya. Saya meminta mereka membuka pasal 37 dalam "Kitab Yesaya." Ketika para pendengar telah siap, saya meminta mereka membandingkan antara "Yesaya 37" milik saya dan "Yesaya 37" milik mereka sewaktu saya membaca, untuk melihat apakah keduanya identik. Saya mulai membaca dengan perlahan ayat 1, 2, 4, 10, 15, dan seterusnya, sampai akhir pasal. Saya terus bertanya di akhir setiap ayat apakah yang saya baca sama dengan ayat dalam Injil mereka. Lagi-lagi mereka menjawab secara bersamaan - "Ya!", "Ya!" Di akhir pasal, dengan Injil masih terbuka di tempat dari mana saya membacanya, saya meminta pemimpin kelas mengungkapkan kepada pendengar bahwa saya sama sekali tidak membaca dari Yesaya 37 tetapi dari 2 Raja-Raja 19! Terdapat ketakutan luar biasa pada pendengar! Ini berarti saya telah melakukan plagiarisme 100% terhadap "Kitab Suci Injil".

Dengan kata lain, Yesaya 37 dan 2 Raja-Raja 19 kata demi katanya identik. Padahal keduanya diatributkan untuk dua penulis yang berbeda, terpisah berabad-abad, yang dinyatakan umat Kristen diinspirasikan oleh Tuhan.

Siapa yang menyalin dan dari siapa? Siapa yang men-curi dan dari siapa? 32 Sarjana Injil RSV yang termahsyur mengatakan penulis kitab Raja-Raja "tidak diketahui!" Lihat salinan RSV oleh "Collins" pada halaman 139. Catatan dalam Injil ini dipersiapkan dan diedit oleh Pendeta David J. Fant, Litt. D., Sekretaris Umum perkumpulan Injil New York. Umumnya, jika pendeta Kristen yang baik mempunyai keyakinan bahwa Injil adalah Firman Tuhan, mereka juga akan mengatakan hal yang sama, tetapi dengan jujur (malu-malu) mereka mengakui: "Penulis - Tidak diketahui! " Mereka dipersiapkan untuk membayar bualan terhadap kitab suci yang mungkin saja ditulis oleh Tom, Dick atau Harry dan berharap setiap orang menganggap semua ini sebagai Firman Tuhan!

Tidak Ada Wahyu Lisan
(Lengkapi diri Anda dengan "Collins" RSV dan keterangannya untuk mendapatkan daftar lengkap semua kitab Injil dan penulisnya). Apa yang dikatakan sarjana Kristen tentang "Kitab Yesaya?" Mereka berkata, "Sebagian besar ditulis oleh Yesaya. Sebagian mungkin ditulis oleh yang lainnya." Dalam pandangan sarjana Injil, kita tidak akan mengambil Yesaya untuk tugas tersebut. Dapatkah kita kemudian memaku plagiarisme ini di pintu Tuhan? Sangat menghina! Pada saat tanya jawab di akhir simposium yang disebutkan tadi, Profesor Cumptsy menegaskan bahwa "Umat Kristen tidak percaya bahwa Injil diwahyukan secara lisan". Sehingga Tuhan Yang Maha Kuasa tidak lupa mendiktekan cerita yang sama dua kali! Tangan manusia, semuanya terlalu manusiawi, memainkan kerusakan terhadap yang dinama-kan Firman Tuhan ini- Injil. Meski demikian, para penginjil memaksa bahwa setiap kata, koma dan titik dari Injil adalah Firman Tuhan!"


-----------------------
PLAGIARISME 100%

2 RAJA RAJA 19

Segera sesudah reja Hizkia mendengar itu, dikoyakkannyalah pakaiannya dan diselubunginyalah badannya dengan kain kabung, lalu masuklah ia ke rumah TUHAN.

[2] Disuruhnyalah juga Elyakim, kepala istana, Sebna, Panitera negara, dan yang tua-tua di antara para imam, dengan berselubungkan kain kabung, kepada nabi Yesaya bin Amos.

[3] Berkatalah mereka kepadanya: "Beginilah kata Hizkia, Hari ini hari kesesakan, hari hukuman dan penistaan; sebab sudah datang waktunya untuk melahirkan anak, tetapi tidak ada kekuatan untuk melahirkannya.


[5] Ketika pegawai-pegawai raja Hizkia sampai kepada Yesaya.

[10] Beginilah harus kamu katakan kepada Hizkia, raja Yahuda: Janganlah Allahmu yang kau percayai itu memperdayakan engkau dengan menjanjikan; Yerusalem tidak akan diserahkan ke tangan raja Asyur.

[11] Sesungguhnya, engkau ini telah mendengar tentang yang dilakukan raja-raja Asyur kepada segala negeri, yakni bahwa mereka telah menumpasnya; masakan engkau ini akan dilepaskan?


[12] Sudahkah para allah dari bangsa-bangsa, yang telah dimusnahkan oleh nenek moyangku, dapat melepaskan mereka, yakni Gozan, Haran, Rezef dan bani Eden yang di Telasar?

[14] Hizkia menerima surat itu dari tangan para utusan, lalu membacanya; kemudian pergilah ia ke iumah TUHAN dan membentangkan surat itu di hadapan TUHAN.

[15] Hizkia berdoa di hadapan TUHAN dengan berkata: "Ya TUHAN, Allah Israel, yang bertakhta di atas kerubim! Hanya Engkau sendirilah Allah segala kerajaan di bumi; Engkaulah yang menjadikan langit dan bumi.

[36] Sebab itu berangkatlah Sanherib, raja Asyur, dan pulang, lalu tinggallah ia di Niniwe.

[37] Pada suatu kali ketika ia sujud menyem-bah di dalam kuil Nisrokh, allahnya, maka Adramelekh dan Sarezer, anak-anaknya, membunuh dia dengan pedang, dan mereka meloloskan diri ke tanah Ararat. Kemudian Esartadon, anaknya, menjadi raja menggantikan dia.

YESAYA 37
Segera sesudah raja Hizkia mendengar itu, dikoyakkannyalah pakaiannya dan diselubunginyalah badannya dengan kain kabung, lalu masuklah ia ke rumah TUHAN.

[2] Disuruhnyalah juga Elyakim, kepala istana, Sebna, panitera negara, dan yang tua-tua di antara para imam, dengan berselubungkan kain kabung, kepada nabi Yesaya bin Amos.

[3] Berkatalah mereka kepadanya: "Beginilah kata Hizkia, Hari ini hari kesesakan, hari hukuman dan penistaan; sebab sudah datang waktunya untuk melahirkan anak, tetapi tidak ada kekuatan untuk melahirkannya.


[5] Ketika pegawai-pegawai raja Hizkia sampai kepada Yesaya.

[10] Beginilah harus kamu katakan kepada Hizkia, raja Yahuda: Janganlah Allahmu yang kau percayai itu memperdayakan engkau dengan menjanjikan; Yerusalem tidak akan diserahkannt ke tangan raja Asyur.

[11] Sesungguhnya, engkau ini telah mendengar tentang yang dilakukan raja-raja Asyur kepada segala negeri, yakni bahwa mereka telah menumpasnya; masakan engkau ini akan dilepaskan?

[12] Sudahkah para allah dari bangsa-bangsa, yang telah dimusnahkan oleh nenek moyangku, dapat melepaskan mereka, yakni Gozan, Haran, Rezef dan bani Eden yang di Telasar?

[14] Hizkia menerima surat itu dari tangan para utusan, lalu membacanya; kemudian pergilah ia ke tumah TUHAN dan membentangkan surat itu di hadapan TUHAN.

[15] Hizkia berdoa di hadapan TUHAN dengan berkata: 16 "Ya TUHAN, Allah Is-rael, yang bertakhta di atas kerubim! Hanya Engkau sendirilah Allah segala kerajaan di bumi; Engkaulah yang menjadikan langit dan bumi.

[37] Sebab itu berangkatlah Sanherib, raja Asyur, dan pulang, lalu tinggallah ia di Niniwe.

[38] Pada suatu kali ketika ia sujud menyembah di dalam kuil Nisrokh, allahnya, maka Adramelekh dan Sarezer, anak-anaknya, membunuh dia dengan pedang, dan mereka meloloskan diri ke tanah Ararat. Kemudian Esarhadon, anaknya, menjadi raja menggantikan dia.

Selasa, 01 April 2008

Dua Racun Hati

Dua Racun Hati

Jika ada suatu wilayah dengan sutau system pemerintahan, maka pemimpin tertinggi dari wilayah itu pastilah orang yang memegang kendali system pemerintahan tersebut. Apabila sang pemimpin orang bijak Insya Allah keadaan negaranya aman dan tentram. Jika sebaliknya, rusaklah Negara yang ia pimpin. Pejabat kerajaan dan tentaranya hanya akan menjadi alat perampas harta atas nama Negara. Rakyatnya hanya akan berada dalam dua keadaan, meniru perilaku pemimpin tersebut atau melawannya dengan hasutan, pengkhianatan dan pemberontakan.

Begitu juga kalau pemimpin itu bernama hati. Tubuh adalah wilayah kekuasaannya, seakan anggota tubuh seakan para menteri, punggawa, tentara serta rakyatnya. Jika hati lurus, luruslah keadaan tubuh tersebut. Apabila hati rusak, apa yang diperbuat anggota tubuh hanya akan menuruti kerusakan hati.

Kadang-kadang hati itu sehat dan kadangkala ia sakit. Sakitnya hati di sini tidaklah berarti hati itu mati, karena ketika sebuah hati mati, maka artinya adalah hati itu sudah ditutup dari kebenaran. Dan hanya orang kafirlah yang mempunyai hati mati seperti itu.

Secara umum, sebab penyakit hati hanya ada dua, yaitu syubhat dan syahwat. Yang pertama mengaburkan cara pandang dan daya pikir sehingga yang terserang tidak mampu membedakan kebenaran dan kebatilan. Yang kedua menipu mata hati manusia sehingga pandangannya akan tertuju kepada hal-hal yang menyenangkan dari kenikmatan sesaat dan melupakan kenikmatan akhirat.

Dua penyakit inilah yang selalu digunakan setan untuk menyesatkan manusia. Dengan dua penyakit inilah, setan telah membujuk Nabi Adam dan Hawa, sehingga Allah mengeluarkan keduanya dari surga.

“Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya dan berkata, ‘Wahai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon kekekalan dan kerajaan yang tidak akan binasa?’(Thaha: 120)

Syubhat

Syubhat secara bahasa mempunyai makna perkara yang samar-samar atau kabur. Ia digunakan ketika ada sesuatu yang sebenarnya haram dianggap halal, ketika ada kebenaran dianggap sebagai kebatilan. Dr. Ahmad Farid dalam Tazkiyatun Nufus menyebutkan bahwa syubhat adalah kesimpulan yang salah yang diakibatkan oleh keracunan hati dan kesalahn cara berfikir. Definisi kedua inilah yang dimaksudkan sebagai penyakit hati jenis yang pertama.

Jika Allah mencela orang-orang munafik, orang-orang yang mempunyai penyakit hati, dan orang-orang yang menyalahi sebagian ajaran agama, maka jenis penyakit yang ada pada mereka adalah penyakit syubhat.

Contohnya adalah firman Allah, “Di dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah pun menambahkan penyakit itu.” (Al-Baqarah : 10)

Penyakit dalam ayat ini adalah keraguan dan kemunafikan. Ini merupakan syubhat dari setan yang dihembuskan ke hati-hati orang munafik sehingga mereka menganggap bahwa keyakinan mereka dapat memperdayai Allah dan orang-orang yang beriman.

Dengan jauhnya jarak jaman ini dengan masa keemasan nubuwah dan sahabat, semakin maraklah syubahat-syubhat yang tersebar di masyarakat. Contoh sederhana adalah sehubungan dengan firman Allah dalam surat Thaha ayat 14, yang artinya, “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” Orang-orang yang terkena syubhat akan ngeyel, “Jika tujuan shalat untuk mengingat Allah, tanpa shalat, saya pun sudah senantiasa mengingat Allah. Lalu untuk apa saya melaksanakan shalat?”

Ada juga yang getol menyerukan aktualisasi ajaran Islam sehingga tak hanya pelintar-pelintir ayat dan hadist, menolak ayat dan hadist pun terjadi. Seperti terjadi pada orang yang protes terhadap suatu bagian dalam hal warisan untuk wanita. Menurutnya, sekarang wanita sudah banyak yang bekerja, sehingga seharusnya. Bagiannya juga sama dengan laki-laki.

Syahwat

Syahwat secara bahasa, sebenarnya berarti sesuatu yang diingini. Dalam definisi yang lebih pas, syahwat adalah kecondongan jiwa kepada sesuatu yang diinginkan dan kecondongan hati kepada sesuatu yang dicintai.

Sebenarnya syahwat ini sudah menjadi atribut manusia sejak lahir. Tanpa syahwat kepada lawan jenis, tidak akan berlanjutr keturunan anak Adam. Keinginan dasar manusiawi ini akan tercela jika cinta dunia dan panjang angan-angan masuk ke dalamnya.

Dalam Al-Qur’an, apabila konteks kalimatnya mengenai orang-orang yang berbuat maksiat dan mereka yang condong kepadanya, maka jenis penyakitnya adalah penyakit syahwat. Contohnya adalah dalam firman Allah, “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam hatinya.” (QS. 33:32).

Komplikasi Syahwat dan Syubhat

Jika penyakit badan bisa berkomplikasi, meyerang satu tubuh pada saat yang sama, begitu pula halnya dengan penyakit syubahat dan syahwat. Sebagaimana disebutkan Allah dalam firman-Nya, “(Janganlah seperti) orang-orang sebelum kamu; mereka adalah orang-orang yang lebih kuat, lebih banyak harta dan anaknya daripada kamu. Mereka mengambil bagian (dunia) mereka, dan kamu pun mengambil bagian dunia kamu sebagaimana mereka mengambil bagian dunia mereka. Dan kamu pun memperbincangkan (kebatilan) sebagaiamana mereka memperbincangkannya.”

Mengomentari ayat ini, Ibnu Qayyim dalam I’lamul-Muwaqi’in berkata, “Firman Allah, ‘kamu nikmati bagianmu sebagaimana orang-orang sebelum kamu menikmati bagian mereka’ merupakan isyarat kepada mengkais-kais syahwat yang merupakan penyakit ahli maksiat. Dan firman Allah, ‘dan kamu mempercakapkan kebatilan sebagaimana mereka mempercakapkannya’ merupakan isyarat koreksi terhadap syubhat yang merupakan penyakit ahli bid’ah, ahli ahwa’, dan tukang-tukang debat. Kebanyakan dua hal tersebut selalu bergandengan. Maka jarang kamu dapati seorang yang rusak akidahnya kecuali akan nampak juga kerusakan pada amalnya.”

Obat Dua Penyakit

Rasulullah telah memberi untuk menanggulangi syubhat dan syahwat dalam hadistnya, “Sesungguhnya dunia itu terkutuk, terkutuk juga apa yang ada di dalamnya kecuali dzikrullah dan mendekatkan diri kepada-Nya, orang alim dan muta’alim (penuntut ilmu).” (HR. Tirmidzi)

Dzikrullah dan pendekatan diri kepada-Nya merupakan senjata untuk melawan syahwat, sedangkan mempelajari dan mengajarkan ilmu agama dapat menghancurkan syubhat.

Ibnu Qayyim mensarikan obat bagi syubhat dan syahwat dari firman Allah, “Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah : 24)

Dalam Risalah Ila Kulli Muslim, beliau berkata, “Allah menggabungkan antara kesabaran dan keyakinan karena keduanya itulah dasar kebahagiaan seorang hamba. Hilangnya keduanya, berarti hilangnya kebahagiaan. Karena hati itu kerap disusupi syahwat yang menyelisihi perintah Allah dan syubhat yang menyelisihi jalan kebaikan. Dengan kesabaran, syahwat dapat direm, dan dengan keyakinan, syubhat dan kesamaran bisa ditepis.”

Syubhat dan syahwat sudah menjadi senjata abadi musuh manusia, tinggal kita saja yang mau atau tidak mau untuk menuntut ilmu, menyakini, serta mengamalkan ketaatan kepada Allah. Inilah pilihan bagi kita.

Prinsip Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah Terhadap Masalah Kufur Dan Takfir

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Definisi Kufur
Kufur secara bahasa, berarti menutupi. Sedangkan menurut syara’, kufur adalah, tidak beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya.[37] Orang yang melakukan kekufuran, tidak beriman kepada Allah dan Rasul- Nya disebut kafir.

Prinsip-Prinsip Ahlus Sunnah Dalam Masalah Kufur Dan Takfir
Masalah takfir (kafir-mengkafirkan) adalah masalah yang sangat berbahaya. Karena itu, para ulama sangat berhati-hati dalam masalah ini, sebagaimana penjelasan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Karena inilah, wajib berhatihati dalam mengkafirkan kaum Muslimin dengan sebab dosa dan kesalahan (yang dilakukan). Karena hal ini adalah bid’ah yang pertama kali muncul dalam Islam, sehingga pelakunya mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah serta harta mereka”.[38]

Di bawah ini saya akan jelaskan kaidah-kaidah menurut para ulama Ahlus Sunnah tentang masalah kufur dan takfir.

[1]. Masalah pengkafiran adalah hukum syar’i dan tempat kembalinya kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[2]. Barangsiapa yang tetap keislamannya secara meyakinkan, maka keislaman itu tidak bisa lenyap darinya, kecuali dengan sebab yang meyakinkan pula.[39]

[3]. Tidak setiap ucapan dan perbuatan -yang disifatkan nash sebagai kekufuran- merupakan kekafiran yang besar (kufur akbar) yang mengeluarkan seseorang dari agama, karena sesungguhnya kekafiran itu ada dua macam, yaitu: kekafiran kecil (asghar) dan kekafiran besar (akbar). Maka, hukum atas ucapan-ucapan maupun perbuatan-perbuatan ini, sesungguhnya berlaku menurut ketentuan metode para ulama Ahlus Sunnah dan hukumhukum yang mereka keluarkan.

[4]. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir kepada seorang muslim, kecuali telah ada petunjuk yang jelas, terang dan mantap dari al-Qur‘an dan as-Sunnah atas kekufurannya. Maka, dalam permasalahan ini, tidak cukup hanya dengan syubhat dan zhan (persangkaan) saja.

Ahlus Sunnah tidak menghukumi atas pelaku dosa besar tersebut dengan kekafiran. Namun menghukuminya sebagai bentuk kefasikan dan kurangnya iman, apabila bukan dosa syirik dan dia tidak menganggap halal perbuatan dosanya. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” [An-Nisa‘: 48]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam memperingatkan dengan keras tentang tidak bolehnya seseorang menuduh orang lain dengan “kafir” atau “musuh Allah”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

"Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya “wahai kafir”, maka dengan ucapan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya, apabila seperti yang ia katakan; namun apabila tidak, maka akan kembali kepada yang menuduh” [40]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

“ ... Dan barangsiapa yang menuduh kafir kepada seseorang atau mengatakan ia musuh Allah, sedangkan orang tersebut tidaklah demikian, maka tuduhan tersebut berbalik kepada dirinya sendiri”.[41]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan ataupun kekufuran, karena tuduhannya akan kembali kepada dirinya, jika orang yang dituduh tidak seperti yang ia tuduhkan.[42]

[5]. Terkadang ada keterangan dalam al-Qur‘an dan as-Sunnah yang mendefinisikan bahwa suatu ucapan, perbuatan atau keyakinan merupakan kekufuran (bisa disebut kufur). Namun, tidak boleh seseorang dihukumi kafir, kecuali telah ditegakkan hujjah atasnya dengan kepastian syarat-syaratnya, yakni mengetahui, dilakukan dengan sengaja dan bebas dari paksaan, serta tidak ada penghalang-penghalang (yang berupa kebalikan dari syarat-syarat tersebut).[43]

Dan yang berhak menentukan seseorang telah kafir atau tidak adalah Ahlul ‘Ilmi yang dalam ilmunya, dan para ulama Rabbani44 dengan ketentuan-ketentuan syari’at yang sudah disepakati.

[6]. Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan orang yang dipaksa (dalam keadaan diancam), selama hatinya tetap dalam keadaan beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar” [An-Nahl:106]

[7]. Kufrun akbar (kekafiran besar) ada beberapa macam, sebagai berikut.
a. Juhud (mengingkari)
b.Takdzib (mendustakan)
c. Iba‘ (sikap enggan)
d. Syakk (keraguan)
e. Nifaq (kemunafikan)
f. I’radh (sikap berpaling)
g. Istihza‘ (memperolok-olok)
h. Istihlal (penghalalan)

[8]. Sebab-sebab yang dapat membawa kepada kekafiran besar ada tiga macam, yaitu: perkataan, perbuatan, dan i’tiqad (keyakinan). Di antara kufur ‘amali (perbuatan) dan qauli (ucapan), ada yang bisa mengeluarkan pelakunya dari agama dengan sendirinya dan tidak mensyaratkan penghalalan hati. Yaitu sesuatu perbuatan atau perkataan yang jelas bertentangan dengan iman dari segala seginya, misalnya menghujat Allah Ta’ala, mencaci-maki Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersujud kepada berhala, membuang mushaf al Qur`an di tempat sampah, dan perbuatan-perbuatan lain yang semakna dengan itu.

Dijatuhkannya hukum kufur ini kepada orang-orang tertentu tidak boleh, melainkan setelah memenuhi syarat-syarat (kufur) yang bisa diterima, sebagaimana perbuatanperbuatan lain yang menyebabkan kafir pelakunya.

[9]. Sesungguhnya amalan kekafiran adalah kufur dan bisa menyebabkan pelakunya kafir, sebab keadaannya menunjukkan kepada batinnya yang juga kufur. Ahlus Sunnah tidak mengatakan seperti ucapannya para ahli bid’ah: “Amalan kekafiran tidak kufur, tapi dia menunjukkan kepada kekufuran!” Perbedaan keduanya jelas.

[10]. Sebagaimana ketaatan merupakan sebagian dari cabang-cabang iman, demikian juga maksiat merupakan sebagian dari cabang kekafiran. Masing-masing sesuai dengan kadarnya.

[11]. Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlul kiblat (kaum Muslimin), yang dikarenakan dosa-dosa besarnya. Mereka mengkhawatirkan terjadinya nash-nash ancaman kepada pelaku dosa-dosa besar, walaupun mereka tidak kekal di dalam neraka. Bahkan mereka akan bisa keluar dengan syafa’at para pemberi syafa’at, dan karena rahmat Allah Ta’ala disebabkan pada mereka masih ada tauhid. Pengkafiran karena dosa besar adalah madzhab Khawarij yang keji.[45]

Perbedaan Antara Kufur Besar dan Kufur Kecil
[1]. Kufur besar mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menghapuskan (pahala) amalnya, sedangkan kufur kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, juga tidak menghapuskan (pahala) amalnya, tetapi bisa mengurangi (pahala)nya sesuai dengan kadar kekufurannya, dan pelakunya tetap dihadapkan dengan ancaman.

[2]. Kufur besar menjadikan pelakunya kekal di dalam neraka, sedangkan kufur kecil, jika pelakunya masuk neraka, maka ia tidak kekal di dalamnya, dan bisa saja Allah Ta’ala memberi ampunan kepada pelakunya sehingga ia tidak masuk neraka sama sekali.

[3]. Kufur besar menjadikan halal darah dan harta pelakunya, sedangkan kufur kecil tidak demikian.

[4]. Kufur besar mengharuskan adanya permusuhan yang sesung-guhnya, antara pelakunya dengan orang-orang mukmin. Dan orang-orang mukmin tidak boleh mencintai dan setia kepadanya, betapa pun ia adalah keluarga terdekat. Adapun kufur kecil, maka ia tidak melarang secara mutlak adanya kesetiaan, tetapi pelakunya dicintai dan diberi kesetiaan sesuai dengan kadar keimanannya, dan dibenci serta dimusuhi sesuai dengan kadar kemaksiatannya.[46] Wallaahu a’lam.

[Dinukil dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M. Judul Lengkapnya Hakikat Iman, Kufur, Dan Takfir Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama'ah & Menurut Firqah-Firqah Yang Sesat. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
__________
Foote Note
[37]. Majmu’ Fatawa’ ‘ (XII/335), dan lihat ‘Aqidatut-Tauhid, Syaikh Shalih al-Fauzan, halaman 81.
[38]. Majmu’ Fatawa’ (XIII/31)
[39]. Majmu’ Fatawa’ (XII/466).
[40]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 60), Abu ‘Awanah (I/23), Ibnu Hibban (no. 250-at-Ta’liqatul-Hisan ‘ala Shahih Ibni Hibban), dan Ahmad (II/44) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma .
[41]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 61), dari Sahabat Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu
[42]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6045) dan Ahmad (V/181), dari Sahabat Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu
[43]. Syarat-syarat seseorang bisa dihukumi kafir: (1). mengetahui (dengan jelas), (2). dilakukan dengan sengaja, dan, (3). tidak ada paksaan.
Sedangkan intifa’ul mawani’ (tidak ada penghalang yang menjadikan seseorang dihukumi kafir), yaitu kebalikan dari syarat tersebut di atas. (1). Tidak mengetahui, (2). Tidak disengaja, dan (3). Karena dipaksa. Lihat Mujmal Masa-ilil Iman wal Kufr al-‘Ilmiyyah fi Ushulil-‘Aqidah as-Salafiyyah, Cetakan II Tahun 1424 H, halaman 28-35, dan Majmu’ Fatawa’ (XII/498).
[44]. Rabbani, adalah orang yang bijaksana, ‘alim, dan penyantun, serta banyak ibadah dan ketakwaannya. Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/405).
[45]. Lihat bahasan kufur dan takfir dalam Majmu’ al-Fatawa (XII/498) dan Mujmal Masa-ilil-Iman wal-Kufr al-‘Ilmiyyah fi Ushulil-‘Aqidah as-Salafiyyah, oleh Musa Alu Nashr, ‘Ali Hasan al-Halabi al-Atsari, Salim bin ‘Id al-Hilali, Masyhur Hasan Alu Salman, Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah, Basim bin Faishal al-Jawabirah - -, Cetakan II Tahun 1424 H, halaman 28-35. Lihat pula Al-Wajiz fi ‘Aqidatis-Salafish-Shalih, ‘Abdullah bin ‘Abdil Hamid al-Atsari, dimuraja’ah dan ditaqdim oleh beberapa ulama, Darur-Rayah, Cetakan II Tahun 1422 H, halaman 121-126, dan Fitnatut-Takfiir, oleh Muhadditsul-‘Ashr Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Taqdim : Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, dan Ta’liq : Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin , dikumpulkan oleh ‘Ali bin Husain Abu Lauz, Dar Ibnu Khuzaimah, Cetakan II Tahun 1418 H, dan Tabshir bi Qawa’idit-Takfiir, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, Cetakan I Tahun 1423 H.
[46]. ‘Aqidatut Tauhid, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan, halaman 84. Pembahasan tentang pembatal-pembatal Islam dapat dilihat pada buku saya, Prinsip Dasar Islam, Pustaka at-Taqwa, Bogor, Cetakan II.


Jumat, 28 Maret 2008

MAKANAN DARI HASIL TILIK

MAKANAN DARI HASIL TILIK

Abu Bakar mempunyai seorang hamba yang menyerahkan sebahagian daripada pendapatan hariannya kepadanya sebagai tuan. Pada suatu hari hambanya telah membawa makanan yang dimakannya sedikit oleh Abu Bakar. Hambanya berkata, "Kamu selalu bertanya tentang sumber makanan yang aku bawa, tetapi hari ini kamu tidak berbuat demikian ?"
Abu Bakar menjawab, "Aku terlalu lapar sehingga aku lupa bertanya. Terangkanlah kepada aku di mana kamu mendapat makanan ini ?"
Hamba menjawab, "Sebelum aku memeluk Islam, aku menjadi tukang tilik. Orang-orang yang aku tilik nasibnya kadang-kadang tidak boleh membayar wang kepadaku. Mereka berjanji membayarnya apabila saja memperolehi. Aku berjumpa dengan mereka hari ini. Merekalah yang memberikan aku makanan ini."

Mendengar kata-kata hambanya, Abu Bakar memekik, "Ah! Nyaris-nyaris kau bunuh aku."
Kemudian dia cuba mengeluarkan makanan yang telah ditelannya. Ada orang yang mencadangkan supaya dia mengisi perutnya dengan air dan kemudian memuntahkan makanan yang ditelannya tadi. Cadangan ini diterima dan dilaksanakannya sehingga makanan itu dimuntahkan keluar.
Kata seorang pemerhati, "Semoga Allah mencucuri rahmat ke atasmu. Kamu telah bersusah-payah kerana makanan yang sedikit."

"Aku sudah pasti memaksanya keluar walaupun dengan berbuat demikian aku mungkin kehilangan jiwaku sendiri. Aku mendengar Nabi berkata, "Badan yang tumbuh subur dengan makanan haram akan merasai api neraka. Oleh kerana itulah maka aku memaksa makanan itu keluar takut kalau-kalau ia menyuburkan badanku."

KUBUR BERKATA

KUBUR BERKATA SEWAKTU
SEWAKTU JENAZAH FATIMAHAZZAHRA
HENDAK DIKEBUMIKAN.


Dikisahkan bahawa sewaktu Fatimah r.a. meninggal dunia maka jenazahnya telah
diusung oleh 4 orang, antara :-
1. Ali bin Abi Talib (suami Fatimah r.a)
2. Hasan (anak Fatima r.a)
3. Husin (anak Faimah r.a)
4. Abu Dzafrrin Al-Ghifary r.a
Sewaktu jenazah Fatimah r.a diletakkan di tepi kubur maka Abu Dzafrrin Al-Ghifary r.a
berkata kepada kubur, "Wahai kubur, tahukah kamu jenazah siapakah yang kami
bawakan kepada kamu ? Jenazah yang kami bawa ini adalah Siti Fatimah az-Zahra, anak
Rasulullah S.A.W."
Maka berkata kubur, "Aku bukannya tempat bagi mereka yang berdarjat atau orang yang
bernasab, adapun aku adalah tempat amal soleh, orang yang banyak amalnya maka dia
akan selamat dariku, tetapi kalau orang itu tidak beramal soleh maka dia tidak akan
terlepas dari aku (akan aku layan dia dengan seburuk-buruknya)."
Abu Laits as-Samarqandi berkata kalau seseorang itu hendak selamat dari siksa kubur
hendaklah melazimkan empat perkara semuanya :-
1. Hendaklah ia menjaga solatnya
2. Hendaklah dia bersedekah
3. Hendaklah dia membaca al-Qur'an
4. Hendaklah dia memperbanyakkan membaca tasbih kerana dengan memperbanyakkan
membaca tasbih, ia akan dapat menyinari kubur dan melapangkannya.
Adapun empat perkara yang harus dijauhi ialah :-
1. Jangan berdusta
2. Jangan mengkhianat
2
3. Jangan mengadu-domba (jangan suka mencucuk sana cucuk sini)
4. Jangan kencing sambil berdiri
Rasulullah S.A.W telah bersabda yang bermaksud, "Bersucilah kamu semua dari
kencing, kerana sesungguhnya kebanyakan siksa kubur itu berpunca dari kencing."
Seseorang itu tidak dijamin akan terlepas dari segala macam siksaan dalam kubur,
walaupun ia seorang alim ulama' atau seorang anak yang bapanya sangat dekat dengan
Allah. Sebaliknya kubur itu tidak memandang adakah orang itu orang miskin, orang
kaya, orang berkedudukan tinggi atau sebagainya, kubur akan melayan seseorang itu
mengikut amal soleh yang telah dilakukan sewaktu hidupnya di dunia ini.
Jangan sekali-kali kita berfikir bahawa kita akan dapat menjawab setiap soalan yang
dikemukakan oleh dua malaikat Mungkar dan Nakir dengan cara kita menghafal. Pada
hari ini kalau kita berkata kepada saudara kita yang jahil takutlah kamu kepada Allah dan
takutlah kamu kepada soalan yang akan dikemukakan ke atas kamu oleh malaikat
Mungkar dan Nakir, maka mereka mungkin akan menjawab, "Ah mudah sahaja, aku
boleh menghafal untuk menjawabnya."
Itu adalah kata-kata orang yang tidak berfikiran. Seseorang itu tidak akan dapat
menjawab setiap soalan di alam kubur jikalau dia tidak mengamalkannya sebab yang
akan menjawab ialah amalnya sendiri. Sekiranya dia rajin membaca al-Qur'an, maka al-
Qur'an itu akan membelanya dan begitu juga seterusnya.